Sungguh mengagetkan ketika berbagai media menyiarkan berita pengeboman atau bom bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang di masjid di Cirebon saat kaum Muslimin menjalankan ibadah Jum’at di sana. Yang lebih mengagetkan lagi, ada sebagian kaum Muslimin yang menganggap itu sebagai jihad, dengan alasan mereka (para polisi) yang shalat di sana itu adalah thagut yang harus diperangi. Melihat fakta ini, kami merasa perlu menghadirkan sebuah pembahasan yang disampaikan oleh salah seorang Ulama di Madinah. Sebuah pembahasan singkat yang penuh dengan dalil. Namun karena keterbatasan halaman, maka yang kami hadirkan di sini adalah rangkuman dari pembahasan tersebut. Kami berharap, semoga tulisan singkat ini bisa semakin memahamkan kita tentang agama yang hanif ini. Dua Jalan Setan Menyesatkan Manusia
Sesungguhnya setan memiliki dua jalan untuk menyesatkan kaum muslimin :
a. Jika seorang muslim itu termasuk orang yang meremehkan kewajiban dan pelaku maksiat, setan akan menjadikan kemaksiatan dan syahwat menjadi tampak indah baginya, agar tetap jauh dari ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya.
b. Jika seorang muslim itu termasuk orang yang taat dan rajib beribadah, setan akan menghiasi sikap berlebihan dan melewati batas kepadanya, agar setan bisa merusakkan agamanya.
Diantara tipu daya setan kepada orang-orang yang bersikap melewati batas adalah setan menjadikan perbuatan mengikuti hawa nafsu, tinggi hati dan pemahaman agama mereka yang buruk menjadi indah bagi mereka. Setan juga menuntun mereka agar berpandangan tidak perlu merujuk kepada para Ulama, supaya Ulama tidak bisa membimbing mereka menuju jalan kebenaran sehingga mereka tetap sesat.
Diantara akibat dari buruknya pemahaman terhadap agama ini adalah timbulnya pemberontakan yang dilakukan oleh (kelompok) Khawarij terhadap pemerintahan Ali radhiallahu ‘anhu. (Ini mereka lakukan, -red) karena mereka memahami nash-nash syari’at dengan pemahaman salah yang menyelisihi pemahaman sahabat radhiallahu ‘anhum. Oleh karena itu, ketika Ibnu ‘Abbâs radhiallahu ‘anhu berdiskusi dengan mereka, beliau radhiallahu ‘anhu menjelaskan pemahaman yang benar terhadap nash-nash syari’at kepada mereka, sehingga sebagian mereka ruju’ (kembali ke jalan yang kebenaran), namun sebagian mereka tetap berada di dalam kesesatannya. Kisah diskusi Ibnu Abbâs radhiallahu ‘anhu dengan Khawârij diriwayatkan dalam Mustadrak karya al-Hâkim 2/150-152 dengan sanad shahih menurut syarat Muslim.
Di antara yang menunjukkan bahwa merujuk Ulama itu akan mendatangkan kebaikan bagi kaum Muslimin dalam urusan agama dan dunia mereka adalah adanya sekelompok orang (di zaman dahulu -red) yang mengagumi pemikiran Khawarij, berupa penyematan vonis kafir kepada pelaku dosa besar dan menganggap mereka itu kekal dalam neraka. Ketika kelompok ini bertemu dengan Jâbir radhiallahu ‘anhu dan mendapatkan penjelasan darinya, mereka mengikuti bimbingannya dan meninggalkan kebatilan yang mereka fahami, dan mereka membatalkan niatan mereka untuk memberontak yang sedianya mereka lakukan usai ibadah haji. Inilah manfaat terbesar yang didapatkan oleh seorang muslim ketika merujuk kepada para Ulama.
Bahaya ghuluw (melewati batas) dalam agama, menyimpang dari kebenaran, dan menjauhi jalan Ahlus Sunnah, juga ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ، وَكَانَ رِدْئًا لِلْإِسْلَامِ، انْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ»، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ، الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِي؟ قَالَ: «بَلِ الرَّامِي»
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’ân, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân dan al-Bazzâr. Lihat ash-Shahîhah, no. 3201, karya al-Albâni)
Dan Usia muda berpotensi besar disemayami pemahaman yang buruk.
Dengan Akal dan Agama Mana, Pengeboman dan Pengrusakan Sebagai Jihad?
Alangkah serupanya hari ini dengan hari kemarin! Peristiwa pengeboman dan pengrusakan yang terjadi di kota Riyadh di awal tahun ini (1424 H) adalah buah dari usaha setan dalam menyesatkan dan menghiasi sikap ghuluw (melewati batas) dalam beragama. Ini termasuk kejahatan dan pengrusakan di muka bumi yang paling keji. Parahnya lagi, setan menghiasi bagi pelakunya bahwa itu merupakan jihad. Dengan akal dan agama mana (pengeboman dan pengrusakan) itu sebagai jihad ?! Membunuh jiwa kaum muslimin dan orang-orang kafir mu’ahad (dalam perjanjian damai), menjadikan orang-orang yang aman menjadi takut, menjadikan wanita-wanita menjadi janda, menjadikan anak-anak menjadi yatim, dan menghancurkan bangunan-bangunan beserta para penghuninya ?!
Saya merasa perlu membawakan nash-nash al-Qur’ân dan as-Sunnah tentang besarnya urusan (dosa) pembunuhan dan bahayanya, tentang bunuh diri, membunuh seorang Muslim, membunuh kafir mu’ahad, baik sengaja atau tidak sengaja. Tujuannya yaitu untuk menegakkan hujjah dan menjelaskan jalan yang lurus.
Saya mohon kepada Allâh Ta’ala agar memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat menuju kebenaran dan mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, dan semoga Allâh Ta’ala menjaga kaum Muslimin dari keburukan pelaku kejahatan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mengabulkan doa.
Bahaya Pembunuhan dalam Syari’at-Syari’at Terdahulu
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),
Barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. al-Mâidah/5: 32)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا ، لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
Tidak ada satu jiwapun yang dibunuh secara zhalim kecuali anak Adam yang pertama menanggung bagian dosa dari darahnya (pembunuhannya), karena dia adalah orang yang pertama kali melakukan pembunuhan. (HR. Bukhâri, no. 3335; Muslim, no. 1677)
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang rasul-Nya, Nabi Musa ‘alaihissalam, yang berkata kepada Khidhir (yang artinya),
Musa berkata, “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain ? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. (QS. al-Kahfi/18: 74)
Bahaya Bunuh Diri, Sengaja Atau Tidak Sengaja
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allâh Maha Penyayang kepadamu. (QS. an-Nisâ’/4: 29)
Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ فِى الدُّنْيَا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat. (HR. Bukhâri, no. 6047; Muslim, no. 176; dari Tsâbit bin Dhahhak)
Dari al-Hasan, dia berkata, “Jundub telah bercerita kepada kami dalam masjid ini, kami tidak lupa, dan kami tidak khawatir akan lupa, dan kami tidak khawatir Jundub akan berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ بِرَجُلٍ جِرَاحٌ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَقَالَ اللَّهُ بَدَرَنِى عَبْدِى بِنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Dahulu ada seseorang laki-laki yang menderita bisul, lalu dia bunuh diri, maka Allâh berkata, “Hamba-Ku ini mendahului-Ku terhadap dirinya, maka Aku mengharamkan surga atasnya”. (HR. Bukhâri, no. 1364; Muslim, no. 180)
Namun orang yang membunuh dirinya dengan tidak sengaja maka dia dimaafkan, tidak berdosa, berdasarkan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala,
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. (QS. al-Ahzâb/33:5)
Membunuh Muslim dengan Tanpa Hak, Secara Sengaja atau Keliru
Membunuh seorang Muslim, adakalanya dengan alasasan yang dibenarkan syari’at dan adakalanya tidak dibenarkan syari’at. Pembunuhan itu dibenarkan syari’at bila dilakukan karena menjalankan qishâsh atau had. Sedangkan tanpa kebenaran bisa karena sengaja atau keliru (tidak sengaja).
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang pembunuhan dengan sengaja (yang artinya),
Barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, dia kekal di dalamnya dan Allâh murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya. (QS. an-Nisâ’/4: 93)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَنْ يَزَالَ الْمُؤْمِنُ فِى فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ ، مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا
Seorang Mukmin selalu dalam kelonggaran dalam agamanya selama dia tidak menumpahkan darah yang haram. (tidak membunuh jiwa yang diharamkan) (HR. Bukhâri, no. 6862)
Sedangkan pembunuhan terhadap seorang mukmin secara tidak sengaja, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan diyat (denda) dan kaffarah (penebus dosa) padanya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. an-Nisâ’/4: 92)
Membunuh Mu’ahad Secara Sengaja atau Keliru
Membunuh orang kafir dzimmi, mu’âhad, dan musta’man, haram (hukumnya). Dalam masalah ini, ada ancaman yang keras.
Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Barangsiapa membunuh orang kafir mu’ahad, dia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya di dapati dari jarak perjalanan 40 tahun. (HR. Bukhâri, no. 3166)
al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan adalah orang (kafir) yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan membayar jizyah (kafir dzimmi -red), perjanjian damai dari pemerintah (kafir mu’ahad –red), atau jaminan keamanan dari seorang muslim (musta’man –red)”. (Fathul Bari, 12/259)
Dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهِدًا فِى غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Barangsiapa membunuh orang kafir mu’ahad bukan pada waktunya, Allâh haramkan sorga atasnya. (HR. Abu Dawud, no. 2760; Nasai, no. 4747)
Dikatakan oleh Imam al-Mundziri rahimahullah bahwa makna ‘bukan pada waktunya’ adalah bukan pada waktu yang dibolehkan untuk membunuhnya, yaitu pada waktu tidak ada perjanjian baginya. (at-Targhib, 2/635)
Pembunuhan terhadap orang kafir mu’ahad secara keliru (tidak sengaja), diwajibkan diyât (denda) oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan kaffarah (penebus dosa). Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),
Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allâh. Dan adalah Allâh Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. an-Nisâ’/4:92)
Penutup
Sebagai penutup saya katakan:
- Bertaqwalah kepada Allâh wahai para pemuda pada diri kalian! Janganlah kamu menjadi mangsa setanyang menggabungkan kehinaan dunia dan siksaan akhirat bagi kamu.
- Bertaqwalah kepada Allâh pada (urusan) kaum Muslimin, baik yang tua maupun yang muda.
- Bertaqwalah kepada Allâh pada (urusan) kaum muslimat, baik yang ibu-ibu, anak-anak, saudari ataupun bibi.
- Bertaqwalah kepada Allâh pada (urusan) orang-orang tua yang sedang ruku’ dan bayi-bayi yang masih menyusu.
- Bertaqwalah kepada Allâh pada (urusan) darah yang harus dijaga dan harta yang harus dihormati.
Jagalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu. (QS. al-Baqarah/2:24)
Jagalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allâh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. al-Baqarah/2:281)
Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh. (QS. Ali-‘Imrân/3:30)
Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. (QS. ‘Abasa/80: 34-37)
Bangunlah dari tidur-mu, sadarlah dari kelalaian-mu !
Janganlah kamu menjadi kendaraan setan untuk berbuat kerusakan di muka bumi !
Aku memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala agar memahamkan kaum muslimin terhadap agama mereka, dan menjaga mereka dari ujian-ujian yang menyesatkan, yang nampak atau yang tersembunyi.
Semoga Allâh menganugerahkan shalawat, salam, dan berkah kepada hamba-Nya, nabi-Nya, Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya semuanya.
Di kutip dari sahabat
0 komentar:
Posting Komentar