Senin, 16 Agustus 2010

“Indonesia Menggugat Jilid II”? (Bagian ke-8)

Oleh Kwik Kian Gie

Undang-Undang tentang Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007
Undang-Undang tersebut menggantikan semua perundangan dan peraturan dalam bidang penanaman modal. Butir-butir pokoknya dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pasal 1 yang mendefinisikan “Ketentuan Umum” yang mempunyai banyak ayat itu intinya menyatakan tidak ada perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri.
Pasal 6 mengatakan : “Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia…..”
Pasal 7 menegaskan bahwa “Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal, kecuali dengan undang-undang.”
Pasal 8 ayat 3 mengatakan “Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing”, yang dilanjutkan dengan perincian tentang apa semua yang boleh ditransfer, yaitu sebanyak 12 jenis, dari a sampai dengan l, yang praktis tidak ada yang tidak boleh ditransfer kembali ke negara asalnya.
Pasal 12 mengatakan bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali produksi senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
Hak atas tanah menjadi 95 tahun untuk Hak Guna Usaha, 80 tahun untuk Hak Guna Bangunan dan 70 tahun untuk Hak Pakai.
KECENDERUNGAN LIBERALISASI PENUH DAN SURVIVAL OF THE FITTEST
Dengan seluruh rangkaian kebijakan yang telah dikemukakan tadi, menjadi sangat jelas garis kebijakan yang konsisten sejak tahun 1967. Kebijakan itu ialah semakin mengecilnya peran pemerintah dalam bidang pengadaan barang dan jasa yang tergolong dalam barang dan jasa publik, atau barang dan jasa yang pengadaannya membutuhkan dana sangat besar, tetapi merupakan kebutuhan pokok manusia. Karena kebutuhan dana yang sangat besar itu, sifatnya selalu menjadi monopolistik. Karena sifat monopolistik itu dipegang sepenuhnya oleh perusahaan swasta yang motifnya mencari laba, maka rakyat yang sangat membutuhkannya harus membayar dengan harga yang tingginya mencukupi untuk memberi laba yang menarik bagi investor swasta. Karena itu, yang mampu menggunakan barang dan jasa publik ialah perusahaan-perusahaan besar dan perorangan yang tergolong kaya.
Kewajiban pemerintah untuk mengadakannya secara gotong royong melalui instrumen pajak setahap demi setahap dibuat minimal. Banyak sekali barang dan jasa publik yang akan dijadikan obyek mencari laba, dan dalam berlomba mencari laba itu tidak ada lagi perbedaan antara investor asing dan investor Indonesia.
Semuanya didahului dengan mempengaruhi pikiran dan pembentukan opini publik dalam bidang mekanisme pasar, liberalisasi, swastanisasi dan globalisasi yang cakupannya sebanyak dan tingkat keterbukaannya sejauh mungkin, yang harus memusnahkan nasionalisme dan patriotisme. Elit negara-negara mangsa harus diyakinkan dan diberi pemahaman bahwa nasionalisme dan patriotisme sudah sangat ketinggalan zaman. Orang modern harus memahami globalisasi yang merupakan the borderless world. Nasionalisme dan patriotisme bagaikan katak dalam tempurung dengan wawasan yang sangat sempit. Demikianlah pikiran, paham, penghayatan yang berlaku pada elit bangsa yang memegang kekuasaan ekonomi sejak tahun 1967 sampai sekarang.
Pusat dari indoktrinasi paham seperti dikemukakan di atas adalah Amerika Serikat. Namun tengoklah apa semua yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam bidang proteksi, melindungi warga negaranya sendiri. Tidak saja defensif dengan menutup pintu masuk negaranya dalam bidang apa saja dan dengan tarif setinggi berapa saja kalau dirasa perlu. Tetapi kalau perlu melakukan agresi, menangkap Presiden Noriega di negaranya sendiri yang lantas dipenjarakan di AS. Irak dihancur leburkan dengan dalih mempunyai senjata pemusnah massal yang akan dipakai untuk memusnahkan umat manusia. Tidak kurang dari Tim Ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diketuai oleh Hans Blik, yang sebelum invasi AS ke Irak menyatakan bahwa di Irak tidak ada senjata pemusnah massal.
Toh Irak diserbu, Presiden Saddam Husein dihukum gantung, semua peninggalan sejarah yang begitu pentingnya untuk peradaban umat manusia dimusnahkan, manusia dalam jumlah sangat besar terbunuh, yang akhirnya pasukan AS sendiri tidak menemukan senjata pemusnah massal.
Saya mengemukakan ini semuanya hanya membeo para elit AS sendiri yang menyuarakan hal-hal yang sama. Bahwa saya kutip dalam tulisan ini untuk menggambarkan bahwa di kalangan elit mashab tertentu di Indonesia berlaku pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Beberapa kenyataan aneh yang sama sekali tidak logis
Sampai sekarang, sekitar 90% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Tambang kita dikeduk oleh pemodal asing, dan hasil yang milik mereka itu dicatat oleh Biro Pusat Statistik kita sebagai Produk Domestik Bruto Indonesia. Bangsa Indonesia kebagian royalti dan pajak yang relatif sangat kecil. Hasil tambang dan mineral sangat mahal yang milik pemodal asing itu ketika diekspor dicatat oleh Biro Pusat Statistik sebagai Ekspor Indonesia yang meningkat. Sejak tahun 1967, tanpa membunuh siapapun, elit bangsa Indonesia sendiri telah menyerahkan segala-galanya kepada kekuatan-kekuatan non Indonesia yang lebih kuat dan lebih raksasa. Apakah itu karena kebodohan, karena pengkhianatan, ataukah karena keyakinan bahwa liberalisme, dan fundamentalisme pasar dihayatinya bagaikan agama adalah hal yang  tidak jelas. Inikah yang akan digugat oleh Boediono ? Dan apakah yang akan digugat para teknokrat yang dalam konperensi Jenewa bulan November tahun 1967 dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro ? Di mana posisi Boediono antara para teknokrat yang disebut “Bekerley Mafia” dan para ekonom yang disebut “Blog Perubahan.”

0 komentar:

Posting Komentar

PENCARIAN