Oleh Kwik Kian Gie
LIBERALISASI YANG JELAS MELANGGAR KONSTITUSI
Liberalisasi dan mekanisme pasar yang dihayatinya bagaikan “agama” telah diberlakukan sedemikian jauhnya, sehingga terang-terangan melanggar Konstitusi, memberlakukan kebijakan yang menyesatkan dan membuat rakyat sangat sengsara.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa pasal 28 ayat (2) Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Konstitusi. Pemerintah dan DPR sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan seolah-olah menantang, harga BBM dinaikkan dengan mengacu pada pasal 28 di dalam undang-undang nomor 22 tahun 2001 tersebut, yang oleh MK dianggap paling krusial dalam menentang amanat Konstitusi. Ketua MK menulis surat kepada Presiden bahwa kebijakan menaikkan harga BBM sampai 126 %, karena harus ekuivalen dengan harga minyak mentah yang terbentuk melalui mekanisme pasar di New York Mercantile Exchange (NYMEX) bertentangan dengan Konstitusi kita. Surat tersebut tidak dihiraukan tanpa konsekuensi buat Pemerintah, maupun DPR maupun DPD. Ketika itu Boediono Menko Perekonomian,
Demi mekanisme pasar yang mutlak tanpa pandang bulu, caranya memberi argumen dan penjelasan kepada rakyat juga melalui penyesatan dan kebohongan. Dikatakan bahwa kalau harga BBM tidak disamakan dengan ekuivalennya harga minyak mentah yang terbentuk di NYMEX, pemerintah harus mengeluarkan uang Rp. 115 trilyun untuk mensubsidi. Uang itu tidak ada. Maka harga BBM dinaikkan. Sebagai contoh, harga bensin premium dinaikkan dari Rp. 2.700 per liter menjadi Rp. 4.500 per liter. Ketika itu, harga minyak mentah di New York US$ 60 per barrel. Dengan kenyataan bahwa biaya-biaya untuk penyedotan, pengilangan dan transportasi sebesar US 10 per barrel atau Rp. 630 per liter (dengan asumsi kurs US 1 = Rp. 10.000), harga bensin premium yang Rp. 4.500 per liter sama dengan harga minyak mentah sebesar Rp. 61,5 per barrel (1 barrel = 159 liter).
Kita membaca dan menyaksikan betapa bagian terbesar dari rakyat serta merta menjadi miskin dan sangat menderita. Bersamaan dengan itu kita saksikan bermunculannya stasiun-stasiun penjualan bensin oleh Shell, Petronas, yang akan disusul dengan perusahaan-perusahaan minyak asing lainnya.
Dalam menaikkan harga BBM, Pemerintah mengemukakan dan menjelaskannya kepada publik menggunakan istilah “subsidi” yang disamakan dengan pengeluaran uang tunai, padahal tidak demikian kenyataannya. Kalau kita mengambil bensin premium sebagai contoh, uang tunai yang dikeluarkan Rp. 630 per liter. Seperti telah berkali-kali dijelaskan, ketika itu nilai tukar rupiah adalah Rp. 10.000 per dollar AS. Biaya lifting, refining dan transporting seluruhnya US$ 10 per barrel dan seperti kita ketahui, 1 barrrel = 159 liter.
Sebelum dinaikkan, harga bensin premium Rp. 2.700 per liternya, sehingga untuk setiap liternya, pemerintah kelebihan uang tunai sebanyak Rp. 2.070. Tetapi kepada rakyat dikatakan bahwa uang yang dikeluarkan sama dengan “subsidi” yang bukan pengeluaran uang tunai, tetapi perbedaan antara harga Rp. 2.700 dengan Rp. 4.500 per liter (yang sama dengan US $ 61,5 per barrel). Maka belum lama berselang IMF menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia sangat kaya uang tunai, karena ketambahan Rp. 15 trilyun sebagai hasil menaikkan harga BBM.
MEKANISME PASAR YANG UNGGUL TELAH MEMASUKKAN BANYAK INTERVENSI OLEH PEMERINTAH
Bahwa sistem mekanisme pasar terbukti unggul dibandingkan dengan sistem perencanaan sentral seperti yang diterapkan oleh negara-negara komunis memang benar validitasnya. Namun mekanisme pasar yang “ditemukan” oleh Adam Smith dan ditulis di tahun 1776 telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu ialah tidak ditabukannya campur tangan pemerintah yang dibutuhkan, agar mekanisme pasar yang efisien dapat dikombinasikan dengan intervensi berupa kebijakan-kebijakan pemerintah dengan maksud melindungi yang lemah dan memperoleh keadilan serta pemerataan dalam menikmati pertumbuhan ekonomi.
Dalam pidatonya tanggal 15 Mei 2009 di Bandung Boediono mengatakan dengan jelas bahwa : “Perekonomian Indonesia tidak dapat seluruhnya diserahkan kepada pasar bebas……dsb.”, yang langsung disambung dengan “Negara tidak boleh terlalu banyak campur tangan, sebab itu akan mematikan kreativitas. Tetapi negara juga tidak boleh hanya tidur.” Buat saya ini ideologi bukanisme, yaitu bukan diserahkan pasar bebas, tetapi juga bukan diatur terlalu banyak oleh pemerintah. Yang tidak terlalu banyak itu yang seperti apa ?
Berkaitan dengan kata “tidur” yang dipakai oleh Boediono, senior semashab dengan Boediono secara berkelakar pernah mengatakan bahwa “PDB tumbuh sepanjang malam sampai pagi hari ketika pemerintah tidur.”
Seperti dapat kita lihat dari uraian di atas, secara sistematis praktik penyelenggaraan negara dalam bidang ekonomi diarahkan pada kapitalisme, liberalisme dan mekanisme pasar dalam bentuknya yang paling awal, paling primitif dan sudah sangat lama ditinggalkan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Maksudnya tiada lain untuk menjadikan Indonesia lahan yang subur untuk dihisap dan dijadikan sapi perahan.
Dengan sistem tersebut yang menang adalah pemilik modal besar dan yang kuat. Kompetisi yang melekat pada mekanisme pasar tidak dijadikan kompetisi yang beradab, tetapi dibiarkan menjadi kompetisi yang menganut hukum rimba, yang menjadi kompetisi saling memotong leher atau cut throat competition. Hasilnya adalah survival of the fittest, seperti yang dapat kita lihat di Indonesia sekarang ini. Walaupun hampir 64 tahun sudah merdeka secara politik, namun kemerdekaan yang diidam-idamkan sebagai pintu gerbang emas menuju pada kemakmuran dan kesejahteraan yang adil buat seluruh rakyat semakin jauh dari kenyataan.
PENGHANCURAN MELALUI SISTEM KEUANGAN
Kalau tadi disebutkan peran pemerintah yang semakin minimal dalam produksi dan distribusi barang dan jasa, walaupun termasuk kategori barang dan jasa publik, tidak kalah pentingnya ialah liberalisasi dalam bidang keuangan. Justru sistem inilah yang merupakan frontier untuk membuat negara-negara mangsa tergantung dan dikendalikan.
Dalam buku yang tadi telah disebut, yaitu “A Game As Old As Empire” Steven Hiatt sebagai editornya menulis bahwa “…..pembayaran dari negara-negara dunia ketiga berjumlah sekitar US$ 375 milyar per tahun atau 20 kali lebih besar dari jumlah uang yang diterimanya dari negara-negara kaya. Sistem ini juga disebut Marshall Plan yang terbalik, dengan negara-negara dari belahan Selatan dunia memberikan subsidi kepada negara-negara kaya di belahan Utara dunia, walaupun separuh dari manusia di dunia hidup dengan US$ 2 per hari.” (halaman 19)
Indonesia masuk ke dalam jebakan hutang (debt trap) tersebut. Sejak tahun 1967 dibentuk perkumpulan dari negara-negara kaya yang disebut Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang berubah nama menjadi CGI. Pekerjaannya hanya memberi hutang setiap tahunnya kepada Indonesia. Dengan hutang yang tanpa henti diberikannya sejak tahun 1967 sampai sekarang, bangsa Indonesia tidak bertambah makmur dan sejahtera secara berkeadilan.
Seperti telah disinggung tadi, belum lama berselang Bank Dunia mengumumkan bahwa garis kemiskinan sekarang pendapatan sebesar US$ 2 per orang per hari. Karena itu, menurut Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Jakarta, 50% dari rakyat Indonesia miskin.
Dampak dari jebakan hutang sudah lama sangat terasa. Pertama tentunya besarnya jumlah hutang luar negeri itu sendiri yang sudah melampaui batas-batas kewajaran kalau dihitung dengan ukuran Debt Service Ratio (DSR). Tetapi pemerintah kemudian menyajikan angka hutang negara yang dinyatakan dalam persen dari PDB yang relatif lebih kecil. Permainan statistik seperti ini diberlakukan pada semua lini.
Walaupun Pemerintah dapat menunjukkan angka hutang yang terus berkurang kalau dinyatakan dalam persen dari PDB, namun pos pengeluaran APBN untuk pembayaran cicilan hutang pokok dan bunga mengambil porsi terbesar. Akibatnya Pemerintah tidak dapat memberikan yang minimal kepada rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar seperti pendidikan, pelayanan kesehatan dasar, penyediaan air bersih, listrik dan lingkungan yang sehat.
Krisis Moneter/Ekonomi 1997 dan IMF
Sistem ekonomi, terutama sistem moneternya yang sudah dibuat sangat terbuka dan liberal akhirnya mengakibatkan krisis moneter dan ekonomi di tahun 1997 yang disusul dengan depresi yang cukup hebat. Kondisi moneter dan kepercayaan terhadap Indonesia hancur. Rupiah merosot nilainya dari Rp. 2.400 per dollar menjadi Rp. 16.000 per dollar. Kepercayaan dunia internasional maupun para pengusaha Indonesia sendiri merosot sampai nol. Dalam kondisi seperti itu Indonesia sebagai anggota IMF menggunakan haknya minta bantuannya, yang diberikan dalam bentuk Extended Fund Facility atau yang lebih terkenal dengan sebutan program Letter of Intent.
Pada akhir pemerintahan Megawati sebuah badan evaluasi independen di dalam tubuh IMF yang bernama Independent Evaluation Office mengakui bahwa IMF telah melakukan banyak kesalahan di Indonesia.
Di Indonesia, kesalahan yang paling mencolok ialah dengan ditutupnya 16 bank tanpa persiapan yang matang dengan akibat BLBI sebesar Rp. 144 trilyun, Obligasi Rekapitalisasi Perbankan sebesar Rp. 430 trilyun beserta kewajiban pembayaran bunganya dengan jumlah Rp. 600 trilyun, atau seluruh beban menjadi Rp. 144 trilyun BLBI, Rp. 430 trilyun Obligasi Rekap. dan minimal Rp. 600 trilyun beban bunganya, atau keseluruhannya Rp. 1.174 trilyun. Kalau kurs dollar AS kita ambil Rp. 10.000 per dollar, jumlah ini ekuivalen dengan 117,4 milyar dollar AS.
OR adalah surat pengakuan hutang oleh pemerintah yang dipakai untuk meningkatkan kecukupan modal dari bank-bank yang dirusak oleh para pemiliknya, tetapi sekarang menjadi milik pemerintah. Menjadinya milik pemerintah karena dalam keadaan darurat pemerintah harus menghentikan rush dengan BLBI. Karena BLBI yang dipakai oleh bank-bank swasta untuk menghentikan rush tidak mungkin dikembalikan, maka dana BLBI dikonversi menjadi modal ekuiti milik pemerintah. Sampai di sini OR merupakan injeksi dana oleh pemerintah kepada bank yang milik pemerintah, yang kejadiannya dalam keadaan darurat. Mestinya dan nalarnya, OR itu ditarik kembali sambil pulihnya bank-bank menjadi sehat kembali.
Tidak demikian yang dilakukan oleh pemerintah atas instruksi atau petunjuk IMF. Bank-bank milik pemerintah Indonesia yang di dalamnya ada surat tagihan kepada pemerintah (atau dirinya sendiri) dijual dengan harga murah kepada swasta, antaranya banyak swasta asing. Contoh yang paling fenomenal tentang ketidak warasannya kebijakan pemerintah dalam bidang ini adalah penjualan BCA. 97% dari BCA sudah milik pemerintah. Di dalamnya ada OR atau surat hutang pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun. IMF memaksa menjualnya kepada swasta dengan harga yang ekuivalen dengan Rp. 10 trilyun. Jadi BCA harus dijual dengan harga Rp. 10 trilyun, dan yang memiliki BCA dengan harga itu serta merta mempunyai tagihan kepada pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun dalam bentuk OR yang dapat dijual kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Satu hari sebelum penandatanganan penjualan BCA kepada Farallon terjadi sidang kabinet terbatas tidak resmi selama tiga jam. Perdebatan sangat sengit. Sebelum tuntas, pada jam 18.00 Menko Dorodjatun menghentikan rapat, mengajak Meneg BUMN Laksamana Sukardi melapor kepada Presiden Megawati bahwa penandatanganan penjualan keesokan harinya dapat dilakukan. Dalam rapat tersebut hanya seorang menteri yang menentang sangat keras. Semuanya menyetujui, tentunya termasuk Menteri Keuangan Boediono, yang notabene paling bertanggung jawab atas penciptaan beban keuangan negara yang dahsyat ini. Apakah ini bentuk penjajahan yang ingin digugat oleh Boediono ? Bukankah lantas menjadi ceritera “Boediono menggugat Boediono” ? Sangat perlu Boediono menjelaskan siapa para penjajah dari dalam negeri yang bangsanya sendiri !!
Sebagai catatan perlu saya kemukakan bahwa ketika saya menjabat Menko EKUIN telah dicapai kesepakatan lisan dengan wakil IMF Anoop Singh bahwa penjualan BCA harus melalui tender terbuka. Semua niat membeli dikirimkan dalam amplop tertutup kepada notaris yang ditunjuk bersama oleh IMF dan Pemerintah Indonesia. Pemerintah berhak memasukkan amplop tertutup yang isinya harga minimum untuk penjualan BCA. Kalau harga tertinggi dari semua minat lebih rendah dari harga minimum yang ditentukan oleh pemerintah, penjualan BCA ditunda dengan 6 bulan, dan demikian seterusnya sampai kondisi ekonomi membaik dan BCA dapat dijual dengan harga yang sama atau di atas harga minimum. Semua prinsip-prinsip sama sekali dibuang dalam penjualan BCA. Tidak ada harga minimum yang disyaratkan oleh pemerintah, walaupun ketika saya Kepala Bappenas, dalam rapat antar menteri sudah saya tegaskan dengan jelas. Bukankah ini berarti bahwa kesepakatan yang bisa membuat hasil penjualan BCA tidak merugi ditiadakan segera saja setelah Tim Ekonomi berganti menjadi Boediono sebagai menteri keuangannya ? Mengapa Boediono begitu ngotot harus menjual BCA tepat pada waktu yang ditentukan oleh IMF dengan meniadakan kesepakatan sebelumnya yang menguntungkan pemerintah ? Bukankah ini sikap dan praktek yang sepenuhnya menurut pada IMF secara membabi buta ? Apakah praktek semacam ini yang akan digugat oleh Boediono ?
Buat saya masih merupakan pertanyaan besar, apakah semua hutang dalam negeri yang diciptakan oleh IMF dengan dukungan oleh beberapa elit Indonesia sendiri itu sebuah kesengajaan ataukah sebuah kebodohan? Besarnya hutang dalam negeri yang diciptakan dalam hitungan minggu lebih besar dari hutang luar negeri yang diakumulasi selama 32 tahun.
Hutang luar negeri pemerintah, saldonya ketika itu sekitar 80 milyar dollar AS, tetapi selama 32 tahun jumlah yang telah dibayarkan berjumlah sekitar 128 milyar dollar AS. Saldo ini diukur dengan persen dari PDB yang lantas dianggap sudah rendah. Babak belurnya yang kumulatif sama sekali dilupakan.
0 komentar:
Posting Komentar